Please feel free to quote part of information provided here, with an acknowledgment to the source.

8.8.08

Apa sih Manassa?

Saya tersenyum simpul ketika sahabat Nadirsyah Hosen (Wollongong, New South Wales, Australia) dan Muhammad Ali (Riverside, California, United States) menyampaikan ucapan selamat atas terpilihnya saya menjadi Ketua Umum Manassa periode 2008-2011 dalam Musyawarah Nasional Manassa di Bandung beberapa hari lalu.

Apa pasal? karena meskipun mereka memberikan apresiasinya, tapi ternyata mereka tidak tahu apa itu Manassa? dan bahkan Shaikh Nadir dan Prof. Ali mengaku tidak tahu bahwa di dunia ini ada organisasi yang disebut Manassa. Saya tidak heran, karena pasti banyak kawan-kawan saya yang memang tidak tahu, atau pura-pura tahu untuk menyenangkan hati saya...

Itulah faktanya. Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara), yang berdiri pada tahun 1996, memang tempat ngumpulnya orang-orang yang "tidak populer", tempat mereka yang senang bergelut dengan tumpukan manuskrip-manuskrip tulisan tangan berusia ratusan tahun yang sudah lapuk dan berdebu. Filologi, sebuah cabang keilmuan yang menjadi piranti penelitian atas manuskrip-manuskrip tersebut juga sangat tidak familiar bagi kebanyakan orang. Saya sering harus mendeskripsikan panjang lebar ketika orang bertanya, apa itu filologi.

Manassa juga "organisasi miskin", setidaknya hingga saat ini, punya dana pas-pasan, dan bahkan sekretariat pun numpang di Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa) di salah satu Gedung Fakultas Ilmu Budaya, UI Depok.

Di Indonesia, Manassa sesungguhnya telah menjelma menjadi sebuah organisasi profesi yang paling berjasa dalam mengawal tetap terjaganya eksistensi warisan budaya dalam bentuk naskah-naskah tulisan tangan itu. Melalui cabang-cabangnya yang tersebar di hampir setiap propinsi di Indonesia, Manassa selalu terdepan dalam berbagai aktivitas berkaitan dengan pernaskahan Nusantara.

Sejumlah sarjana terkemuka pun telah secara rutin menjadi narasumber Manassa, khususnya dalam Simposium Internasional yang digelar setiap tahun itu. Sebut saja M.C. Ricklefs, Henri Chambert-Loir, Edwin P Wieringa, Annabel Teh Gallop, Willem van der Molen, Jan van der Putten, Uli Kozok, dan masih banyak lainnya.

Potensi riset para aktivis dan peneliti Manassa juga sesungguhnya sangat strategis, karena bersentuhan langsung dengan sumber-sumber lokal yang jenuin berupa manuskrip-manuskrip tulisan tangan, dan mencakup berbagai aspek kehidupan: sosial, politik, agama, budaya, adat istiadat, dan lain-lain. Jelas, bahwa sumber-sumber lokal ini sangat patut dijadikan sebagai sumber primer penulisan sejarah lokal Nusantara. Masalahnya, potensi ini belum benar-benar secara maksimal diberdayakan!

Jika kita membuka-buka puluhan katalog naskah Nusantara yang pernah diterbitkan, mungkin baru kita akan "ngeuh" betapa kayanya sumber-sumber primer dalam bentuk manuskrip ini. Sebagai ilustrasi, baca misalnya di sini.

Sayangnya, di Indonesia, pada level Negara sekali pun, perhatian terhadap pentingnya memelihara artefak-artefak lama ini masih sangat memprihatinkan. Pada saat negara-negara lain, seperti Jepang, Jerman, Inggris, Malaysia, dan lain-lain, seolah berlomba untuk menawarkan kerja sama pemeliharaan, pelestarian, penelitian, serta penggalian berbagai kearifan lokal dalam naskah-naskah lama tersebut, nyaris tidak ada alokasi dana yang signifikan dari Negara untuk memikirkan hal tersebut.

Ironisnya, ketika sebagian anggota masyarakat pemilik naskah, yang karena dorongan ekonomi misalnya, ketahuan menjual, secara bertahap tapi pasti, sebagian naskah-naskah Nusantara tersebut kepada pihak asing, hampir semua orang lantang berteriak kebakaran jenggot seraya menuduh para penjual naskah itu sebagai tidak memiliki nasionalisme. Bahkan, sebuah Majalah nasional terkemuka pada akhir 2007 lalu pernah memuat komentar sejumlah kalangan yang serta merta mencap para pembeli naskah kita itu sebagai "Pemburu" dan "Pencuri".

Nah, di sinilah peran penting Manassa! Selama ini Manassa, melalui beragam aktivitasnya, telah menjadi semacam lembaga advokasi yang berusaha menumbuhkan kesadaran masyarakat atas pentingnya melakukan restorasi, preservasi, dan penelitian atas naskah-naskah Nusantara tersebut. Semakin tingginya minat penelitian naskah Nusantara di sejumlah perguruan tinggi juga tak lepas dari advokasi Manassa.

Kini, perguruan tinggi agama, seperti UIN, IAIN, dan STAIN, juga semakin memberikan ruang bagi berkembangnya aktivitas keilmuan dalam bidang pernaskahan. Bahkan, Departemen Agama, melalui Lektur di Balitbangnya, telah sejak 5 tahun lalu mengagendakan penelitian rutin terhadap naskah-naskah keagamaan Nusantara, berkat rajinnya sejumlah pengurus Manassa "bersilaturahmi" dengan para pengambil kebijakan di Institusi tersebut.

Sayangnya, inilah kelemahan mendasar Manassa saya kira, hingga usianya yang ke-12 ini Manassa belum memiliki Homepage untuk lebih memperkenalkan kiprahnya selama ini ke khalayak yang lebih luas, saya tidak ingin mencari tahu mengapa, yang jelas, inilah yang saya janjikan untuk Manassa ke depan: go international!

Sejauh ini, kolega saya dari Leipzig University di Jerman sudah menyatakan komitmennya untuk menjalin kerja sama dengan Manassa. Kebetulan, Universitas di sebelah Timur Jerman ini memang memiliki perhatian serius terhadap kajian naskah-naskah ketimuran. Konon, koleksi naskah di Perpustakaan Universitas Leipzig kini mencapai lebih dari 3000 buah, yang terdiri dari naskah berbahasa Arab, Persia, dan Turki. Sebanyak 55 naskah Arab dan Persia dari koleksinya itu kini dapat dibaca secara gratis melalui situsnya di sini.

Itulah juga yang ingin dilakukan oleh Manassa, memfasilitasi para peneliti tentang Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara umumnya, agar kelak dapat mudah mengakses sumber-sumber lokal yang selama ini sering "disembunyikan" oleh para pemilik naskah tersebut karena dianggap keramat.

Kini, saya dan kawan-kawan siap membentangkan tangan untuk menjalin kerja sama dengan pihak mana pun, demi masa depan kebudayaan yang lebih baik. Salam

Print This Page

1 Kommentare:

ARISTIONO NUGROHO said...

Terimakasih informasinya.
Dalam konteks modern, filologi merupakan ilmu yang penting, untuk menguak pemikiran, sikap, dan perilaku masyarakat masa lalu.
Sejarah masa lalu penting, agar manusia dapat merancang hari ini, dan menciptakan kemajuan di masa depan.
Untuk share silahkan klik "Sosiologi Dakwah" di http://sosiologidakwah.blogspot.com