Please feel free to quote part of information provided here, with an acknowledgment to the source.

11.10.07

Abdurrauf ibn Ali al-Fansuri al-Jawi: Pendukung atau Penentang Wahdat al-Wujud?

Saya tergoda untuk mengomentari salah satu tesis yang dikemukakan oleh Fakhriati dalam disertasi yang baru dipertahankannya pada 18 juni 2007 lalu di Universitas Indonesia, Depok di bawah supervisi Prof. Achadiati Ikram, Prof. Azyumardi Azra, dan Dr. M. Luthfi. Disertasi itu berjudul “Dinamika Tarekat Syattariyyah di aceh: Telaah terhadap Naskah-naskah Tarekat Syattariyyah dari Periode Awal hingga Periode Kemerdekaan”.

Secara keseluruhan saya sangat menghargai karya ini, karena telah menggunakan sumber-sumber tertulis lokal di tangan masyarakat Aceh ---yang sesungguhnya tidak selalu mudah diakses oleh para peneliti--- untuk merekonstruksi dinamika dan perkembangan tarekat Syattariyyah di wilayah ini. Apalagi Fakhriati tampaknya berhasil menyusun silsilah tokoh-tokoh tarekat Syattariyyah lokal melalui naskah-naskah tersebut. Saya jadi ingat model penelitian saya sendiri tentang Tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat (Fathurahman 2003).

Akan tetapi, saya tidak sepenuhnya setuju dengan interpretasi Fakhriati bahwa Abdurrauf ibn Ali al-Fansuri al-Jawi, yang menjadi salah satu tokoh sentral dalam disertasi ini, adalah seorang ulama Sufi yang secara eksplisit menentang ajaran wahdat al-wujud, sebaliknya, menurut saya, ia adalah seorang Sufi yang mempelajari dan mengajarkan faham tersebut, tetapi dengan penafsiran yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.

Fakhriati mendasarkan simpulannya itu terutama pada catatan penyalin dalam sebuah salinan naskah Tanbih al-Mashi karangan Abdurrauf yang ia temukan di Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar. Catatan ---yang juga terdapat dalam salinan naskah Tanbih al-Mashi koleksi Syamsul Bahri di Minangkabau--- ini tidak dijumpai dalam empat salinan naskah Tanbih al-Mashi lainnya yang terdapat di Perpustakaan Nasional Jakarta dan Perpustakaan Leiden yang pernah menjadi bahan tesis saya (Fathurahman 1999 dan 2003).

Supaya lebih jelas, saya kutipkan terjemahan Fakhriati atas catatan yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab tersebut (karena alasan teknis, sistem transliterasi tdk saya gunakan):

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Syekh Abdurrauf al-Fansuri berkata: bahwa ketika saya sampai di Aceh, ada seseorang datang kepada saya berkali-kali, saya melihat ia berbicara tentang wahdatul wujud yang berbeda dengan apa yang telah diajarkan syekh saya Ahmad bin Muhammad al-Madani al-Ansari as-Samadani yang dikenal dengan al-Qusyasyi dan khalifah Alam yang luas pemahamannya yaitu syekh kami Burhanuddin Mula Ibrahim bin Hasan al-Kurani semoga Allah merahmati keduanya. Bahwa orang tersebut tidak membedakan antara tingkatan-tingkatan dan tidak merujuk kepada ketentuan syariat, saya khawatir ketentuan dan keyakinan orang tersebut dinisbahkan kepada ketentuan dan keyakinan saya, sehingga orang mengkafirkan saya setelah saya wafat, padahal saya tidak ada hubungan dengan masalah tersebut. Maka saya buat risalah ini dengan mengharap bantuan dari Allah dan menyadari akan sedikitnya perbendaharaan dan banyak kelemahan dan saya namakan buku ini dengan Tanbihul Masyi ala Tariqatil Qusyasyi dan saya mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim”.


Berdasarkan catatan tersebut, Fakhriati menyimpulkan bahwa pada hakikatnya Abdurrauf tidak menyetujui pandangan dan ajaran wahdat al-wujud. Fakhriati menulis: “…Abdurrauf menawarkan jalan tengah dalam menghadapi konflik, meskipun pada hakikatnya ia tidak setuju dengan pandangan wahdatul wujud…” (h. 13, tanda tebal dari saya).

Fakhriati juga menafsirkan bahwa catatan tersebut merupakan ungkapan eksplisit Abdurrauf tentang ketidaksetujuannya terhadap pandangan wahdat al-wujud yang dianggap bertentangan dengan ajaran gurunya, Ahmad al-Qushashi dan Ibrahim al-Kurani.

Fakhriati menulis: “…Di sisi lain, Abdurrauf al-Fansuri secara eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya terhadap ajaran yang berbeda dengan gurunya…”. Dalam catatan kakinya atas kata ‘eksplisit’, Fakhriati menambahkan: “…Dalam hal ini saya menyanggah argumen Fathurrahman dalam bukunya Tanbihul Masyi: Menyoal Wahdatul Wujud tentang sikap ketidaksetujuan Abdurrauf al-Fansuri yang bersifat implisit terhadap ajaran yang berbeda. (Fathurrahman, 1999: 40)".

Ada sejumlah alasan mengapa saya tidak sependapat dengan Fakhriati, tapi yang terpenting adalah bahwa untuk mengetahui corak dan kecenderungan pemikiran Abdurrauf, kita jelas harus mengetahui seutuhnya pemikiran kedua guru utamanya, yaitu Ahmad al-Qushashi dan Ibrahim al-Kurani, karena sejauh ini tidak ada satupun sumber yang menyebutkan bahwa Abdurrauf berbeda faham dengan kedua gurunya tersebut, termasuk dalam masalah doktrin wahdat al-wujud.

Nah, mungkin kita tidak menemukan penjelasan panjang dalam karya-karya al-Qushashi tentang wahdat al-wujud ini, karena, dalam al-Simt al-Majid misalnya, al-Qushashi lebih menekankan masalah ritual serta tatacara zikir tarekat.

Untungnya, kita bisa menjumpai penjelasan panjang dan komprehensif berkaitan dengan doktrin wahdat al-wujud ini dalam tulisan-tulisan al-Kurani. Salah satu karya terpenting al-Kurani dalam masalah ini adalah Ithaf al-Dhaki bi Sharh al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi, yang merupakan penjelasan (sharh) atas kitab al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi karangan Fadl Allah al-Burhanpuri. Namanya saja penjelasan (sharh), tentunya Ithaf al-Dhaki tidak dimaksudkan untuk menolak atau menentang ajaran "martabat tujuh" dan wahdat al-wujud yang terdapat dalam al-Tuhfah al-Mursalah, melainkan menafsirkannya agar lebih mudah dan jelas difahami.

Saya beruntung sejak Agustus 2006 lalu mendapat fellowship dari The Alexander von Humboldt Stiftung di Jerman untuk melakukan penelitian atas naskah Ithaf al-Dhaki yang sekitar 30 salinan naskahnya tersebar di berbagai perpustakaan di seluruh dunia. Dan setelah membaca tuntas karya al-Kurani tersebut, alih-alih menemukan penolakan terhadap doktrin wahdat al-wujud, saya justru mendapatkan penjelasan dan tafsir yang komprehensif, moderat, dan rekonsiliatif, atas doktrin yang sering dinisbatkan kepada al-Shaikh al-Akbar Ibn 'Arabi, dan memang pernah membuat heboh kalangan Muslim Melayu tersebut.

Khusus yang berkaitan dengan faham wahdat al-wujud menurut al-Kurani, berikut saya kutipkan beberapa bagian kecil saja dari Ithaf al-Dhaki dengan terjemahan versi saya sendiri (untuk membaca teks Arabnya, silahkan klik foto di bagian awal posting ini):

“…orang-orang yang mengemukakan masalah kesatuan wujud (wahdat al-wujud) telah menjelaskan bahwa realitas universal itu terangkum dalam tiga bagian:


Bagian pertama dinisbatkan kepada al-Haq dan khusus bagi-Nya, seperti sifat Ketuhanan, Kasih Sayang asasi yang mencakup segala sesuatu, yakni Wujud berdasarkan emanasi, dan seperti Sifat Wajib, Ke-berdiri-an, yakni berdiri dengan sendiri-Nya, dan memberdayakan selain-Nya, Kemandirian asasi, dan lain sebagainya.

Bagian kedua dinisbatkan kepada makhluk, dan dikhususkan untuknya, seperti ketergantungan, ketiadaan asasi, kerendahan, ke-serba mungkin-an, dan berbilang.

Bagian ketiga adalah sesuatu yang asalnya dinisbatkan kepada al-Haq, lalu diberikan kepada makhluk, sebagai tambahan wujud baginya, seperti pengetahuan, kehendak, kuasa, dan sifat-sifat lainnya yang dapat saja disandarkan kepada al-Haq sehingga menjadi bersifat ‘Tidak Diciptakan’, dan bisa juga disandarkan kepada makhluk sehingga menjadi bersifat ‘yang diciptakan’.

Dengan demikian, menurut mereka, Wujud yang Tidak Diciptakan, ...berbeda dengan [makhluk] yang diciptakan. ...Hanya saja, mereka menjelaskan bahwa makhluk-makhluk yang diciptakan itu adalah merupakan manifestasi Wujud Mutlak yang Tidak Diciptakan."

Paragraf terakhir penting digarisbawahi, bahwa dalam faham wahdat al-wujud, alam (yang diciptakan) adalah manifestasi (mazhar) dari Tuhan (Yang Tidak Diciptakan) itu sendiri, meski alam tidak sama persis dengan Tuhan.

Sebetulnya penjelasan al-Kurani tentang wahdat al-wujud, atau ia lebih sering menyebutnya dengan tauhid al-wujud, ini masih sangat panjang, akan tetapi menurut saya kutipan tentang inti pemikiran al-Kurani di atas cukup untuk membantah anggapan bahwa Abdurrauf, sebagai murid al-Kurani, menentang faham wahdat al-wujud.

Kalau saja kita menyimak dengan lebih hati-hati dan cermat catatan yang disebut oleh Fakhriati di atas, yang ditentang oleh Abdurrauf bukanlah faham wahdat al-wujud itu sendiri, melainkan: “…wahdatul wujud yang berbeda dengan apa yang telah diajarkan syekh saya...al-Qusyasyi dan ... al-Kurani...”. Karena, menurut Abdurrauf, orang yang berbicara kepadanya tentang wahdat al-wujud itu “...tidak membedakan antara tingkatan-tingkatan dan tidak merujuk kepada ketentuan syariat...”, padahal, menurut penafsiran al-Kurani, dan tentunya Abdurrauf menyetujuinya, memahami wahdat al-wujud itu harus dalam kerangka tingkatan terakhir dari tiga tingkatan yang saya kutip di atas itu, dan tidak boleh bertentangan dengan syariat.

Jadi, Abdurrauf jelas menolak pemahaman wahdat al-wujud yang mengabaikan syariat. Itu sebabnya dalam Tanbih al-Mashi sendiri ia banyak menyertakan dalil-dalil al-Quran dan hadis untuk menegaskan keharusan adanya keselarasan antara pemahaman tasawuf dan syariat.

Ketika menjelaskan sifat wujud manusia sebagai manifestasi Allah, al-Kurani sendiri dalam Ithaf al-Dhaki secara eksplisit menegaskan:

“…kewajiban syariat melekat pada dirinya, meskipun ia adalah bagian dari manifestasi nama-nama Ilahi, karena menjadi bagian dari manifestasi Allah itu tidak menghalangi kewajiban [syariat] tersebut…”

Jadi, kalaupun dalam pengantar Tanbih al-Mashi versi Tanoh Abee dan Syamsul Bahri Minang itu Abdurrauf mengatakan: “…padahal saya tidak ada hubungan dengan masalah tersebut...”, adalah a-historis untuk menganggap bahwa Abdurrauf tidak memiliki hubungan, atau tidak setuju, dengan doktrin wahdat al-wujud seperti yang difahami Fakhriati, karena Abdurrauf adalah murid utama al-Kurani, salah seorang pembela paling gigih ajaran wahdat al-wujud tersebut. Menurut saya, dalam catatan tersebut Abdurrauf hanya ingin menegaskan bahwa ia ‘tidak ada hubungan’ dengan pemahaman wahdat al-wujud yang sepotong-sepotong, dan tidak berlandaskan syariat.

Sebetulnya Fakhriati tidak sendirian, karena disertasi Syamsul Bahri (UIN Jakarta, 2004) juga menyimpulkan demikian, padahal Syamsul Bahri (Prof. Dr.) sendiri, yang kini adalah Ketua MUI Kota Padang, adalah praktisi tarekat Syattariyyah di Minangkabau.

Agak mengherankan memang bahwa pada masa-masa berikutnya, seperti yang saya baca dalam naskah-naskah lokal yang berkembang, sebagian praktisi tarekat Syattariyyah di Minangkabau sendiri seperti ingin mengklarifikasi bahwa Abdurrauf dengan tarekat Syattariyyahnya tidak mengajarkan faham wahdat al-wujud (Fathurahman 2003), mungkin ini akibat gencarnya penolakan terhadap sebagian ajaran tasawuf falsafi yang berlebihan dalam memahami faham wahdat al-wujud, atau dapat dibaca dalam konteks semakin kuatnya gerakan neo-sufisme di dunia Melayu-Indonesia.

Dalam sebuah obrolan pribadi, Syamsul Bahri juga mengakui bahwa di kalangan penganut tarekat Syattariyyah di Minangkabau memang terdapat dua kelompok berbeda dalam memahami ajaran Abdurrauf ini. Abdurrazak Pakandangan adalah salah satu contoh tokoh tarekat Syattariyyah yang masih berpendapat bahwa faham wahdat al-wujud adalah merupakan bagian dari ajaran Abdurrauf, tapi memang hanya kalangan tertentu saja yang mempelajarinya dengan seksama, mengingat rumitnya filosofi ajaran tersebut.

Wallahu a’lam.

Updated 10 December 2007:

Saya telah menerima email dari Fakhriati tertanggal 10 Desember 2007 yang memberikan klarifikasi atas kritik saya itu. Dengan demikian, saya juga minta maaf jika pembacaan saya tidak utuh. Di bawah ini saya publikasikan klarifikasi Fakhriati tersebut, dan saya belum sempat menyesuaikan sistem transliterasinya, sehingga tidak dapat terbaca dengan sempurna:

Waalaikum salam,
Sory, saya baru bisa menanggapi artikelmu sekarang karena saya harus mempersiapkan rincian proposal untuk pembangunan gedung naskah di Teupin Raya. Alhamdulillah sekarang sudah rampung dan dapat berkonsentrasi menulis tanggapan terhadap pandangan Abdurrauf tentang wahdatu wujud.
O ya, pertama sekali saya mengucapkan trims banyak atas artikel, jawaban emailnya, dan koreksi atas artikel saya.
Saya setuju dengan pandanganmu yang menyatakan bahwa Abdurrauf tidak menentang wahdatul wujud melainkan meluruskan pandangan terhadap wahdatul wujud. Konsep wahdatul wujud yang diajarkan Abdurrauf telah saya uraikan dalam bab IV hal 114 -116, disertasi saya. Di sana terdpat penjelasan bagaimana hubungan Tuhan dengan makhlukNya, yang menurut Abdurrauf makhluk merupakan bayangan dari Allah. Hal ini kemudian diikuti juga oleh murid-muridnya di Aceh sampai periode perlawanan rakyat terhadap Belanda. Tentang masalah ini saya uraikan dalam bab VI hal 216-224.
Sedangkan tentang tulisan saya yang menyatakan bahwa Abdurrauf secara ekplisit menentang ajaran wahdatulwujud adalah dalam konteks konflik yang terjadi pada masa Abdurrauf, yaitu terdapatnya ajaran wahdatulwujud yang menyatakan penyatuan dengan Tuhan secara mutlak, yang diklaim Ar-Raniri sebagai pandangan dari Hamzah Fansuri dan pengikutnya.
Mungkin tulisan saya perlu dibaca secara keseluruhan sehingga ada kesinambungan pemahaman, tidak sepenggal-penggal atau satu tesis saja. Atau mungkin saya harus menyebutkan di tiap kata wahdatulwujud bahwa wahdatulwujud yang dimaksud adalah wahdatulwujud yang tidak sesuai dengan ajaran Abdurrauf, yaitu yang tidak memperhatikan ajaran syariat. Demikian juga tentang sanggahan saya terhadap tulisanmu yang terdapat dalam bukumu Tanbihul Masyi: Menyoal Wahdatul Wujud. Maksud saya adalah, setelah saya membaca halaman awal Tanbihul Masyi dari tanoh Abee dan Tanbihul Masyi Samsul Bahri dari Padang, saya melihat bahwa secara ekplisit Abdurrauf tidak setuju dengan wahdatulwujud yang berkembang saat itu, bukan lagi secara implisit. Sehingga iapun menulis kitab Tanbihul Masyi.
Selanjutnya, saya juga mengatakan bahwa Abdurrauf tetap setia kepada gurunya, dalam arti ia tidak pernah berbeda pendapat dengan gurunya. Di bawah ini saya tulis lagi kutipan halaman awal Tanbihul Masyi yang saya tulis dalam disertasi halaman 66:
Di sisi lain, Abdurrauf al-Fansuri secara eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya terhadap ajaran yang berbeda dengan gurunya. Pernyataannya dapat dilihat dalam karya, Tanb³hul M±sy³. Pada halaman awal ia menyebutkan:
Bismill±hirra¥m±nirra¥³m
Q±lal faq³ru ilall±hil malikil jal³lil syaykhi ‘abdur ra’µfi anna ‘alayya wa lamma wa¡altu ila ar«il Asy³ wa k±na l³ f³h± rajulun yu¡±¥ibun³ wa yataraddadu ilayya ka£³ran wa raaytu annahu yatakallamu f³ wa¥datil wujµdi ‘ala khil±fi m± qarrarahu sayyid³ wa syaykh³l ‘±limir rabb±niyyil munfaridi f³ aw±nihi bil± £±n³ A¥mad bin Mu¥ammadil Madan³l An¡±r³yyi¡ ¢amad±n³yyisy Syah³ri bil Qusy±sy³ wa khal³fatul ‘±lamil ‘al±matil ¥ibril ba¥ril fahh±mati wahua syaykhun± Burh±nudd³ni Mul± Ibrah³m ibni ¦asanil Kµr±n³ ra¥imanallahu bihim± wa ©±lika min ¥ay£u annar rajula lam yumayyiz baynal mur±tibi wa lam yarji’ ila taqr³ril mu¯±biqi lisyar³‘ati faakh±fu ayyunsama taqr³rur rajuli wa i‘tiq±duhu ila taqr³r³ wa i‘tiq±d³ ¥atta yukaffirun³ ba‘da waf±t³ wa ana bar³un minhu fajami‘tu h±©ihir ris±lata mustaq³nan bill±hi wa mu‘tarifan biqillatil bi«±‘ati wan na«±¥ati wa sammaytuh± bitanb³hil m±sy³ ala ¯ar³qatil qusy±syi wa faqultu bismill±hir ra¥m±nir ra¥³mi
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Syekh Abdurrauf al-Fansuri berkata: bahwa ketika saya sampai di Aceh, ada seseorang datang kepada saya berkali-kali, saya melihat ia berbicara tentang wa¥datul wujµd yang berbeda dengan apa yang telah diajarkan syekh saya Ahmad bin Mu¥ammad al-Madan³ al-An¡±r³ as-¢amad±n³ yang dikenal dengan al-Qusy±sy³ dan khalifah Alam yang luas pemahamannya yaitu syekh kami Burh±nudd³n Mul± Ibrah³m bin Hasan al-Kµr±n³ semoga Allah merahmati keduanya. Bahwa orang tersebut tidak membedakan antara tingkatan-tingkatan dan tidak merujuk kepada ketentuan syariat, saya khawatir ketentuan dan keyakinan orang tersebut dinisbahkan kepada ketentuan dan keyakinan saya, sehingga orang mengkafirkan saya setelah saya wafat, padahal saya tidak ada hubungan dengan masalah tersebut. Maka saya buat risalah ini dengan mengharap bantuan dari Allah dan menyadari akan sedikitnya perbendaharaan dan banyak kelemahan dan saya namakan buku ini dengan Tanb³hul M±sy³ ala Tar³qatil Qusy±sy³ dan saya mengucapkan Bismillahirra¥m±nirra¥³m”.
(Tanb³hul M±sy³ versi Tanoh Abee, hlm. 3).
Karena itu, saya tekankan lagi bahwa dalam disertasi saya dan seterusnya saya berada dalam pandangan bahwa Abdurrauf mengajarkan ajaran wahdatulwujud yang tidak bertentangan dengan gurunya. Dapat dicek lagi tulisan dalam disertasi saya.
Terimakasih sekali lagi atas uraian tentang wahdatulwujud yang dijabarkan al-Kurani, saya ingin sekali membaca ithaful zaki secara komplit.

Wassalam,
Fakhriati


Print This Page

3 Kommentare:

Anonymous said...

Bung Oman, apakah ada alternatif lain melihat tema-tema sufi tarekat selain dari kerangka syariat-non syariat? Saya curiga bahwa apa yang dimaksud syariat pada zaman itu sangat berbeda dengan konsep kita sekarang. Salam-Rizal-Montreal

Anonymous said...

Halo bung Rizal, trims atas commentnya. Ya, perspektif lain tentunya sangat mungkin kita gunakan. Satu hal yg sy yakini, term syariat yg dimaksud dlm teks ini adalah 'syariat yg hakiki' (al-sharia al-muhaqqaqa), bukan syariat empirik yg ditafsirkan secara parsial oleh mazhab tertentu. Kalau skrg kita memahami syariat sbg salah satu bentuk 'penafsiran' agama, berarti memang berbeda dengan konsep syariat yg dimaksud pada masa itu.

Anonymous said...

Hallo bung Oman, saya sepakat sepenuhnya dengan apa yang anda sampaikan tentang pandangan Abdurrouf Singkel di atas. Dia memang tidak pernah menentang wihdatul wujud, dia hanya memahaminya sesuai dengan pandangan syariat.
Masalahnya sekarang sebenarnya apa sih wihdatul wujud itu? apakah wihdatul wujud adalah manunggaling kawulo lan gusti (unity of existence) ataukah ketunggalan wujud (oneness of being). Saya kiri, pandangan Abdurrauf, Yusuf Makassari, Kourani dan - sebelumnya - Jami adalah yang disebut terakhir bukan yang pertama. Tentunya ini juga berbeda dengan wihdatus syuhud yang pernah diangkat oleh sirhindi, dan lain-lain.
Sincerely Yours,

M. Aunul Abied Shah