Naskah Kuno: Marak, Jual Beli Manuskrip Bersejarah
Kompas, 28 Juli 2006
Laporan Wartawan Kompas Ilham Khoiri
PALEMBANG, KOMPAS--Hingga kini, naskah kuno atau manuskrip bersejarah yang bernilai tinggi masih kerap diperjualbelikan di beberapa daerah di Nusantara. Bahkan di antaranya banyak yang jatuh ke tangan orang asing.
Jika hal ini tidak diantisipasi, situasi memprihatinkan ini bakal merugikan karena bangsa Indonesia kehilangan catatan sejarah intelektual dan kekayaan budaya lokal.
Demikian salah satu wacana yang mengemuka dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara di Palembang, Jumat (28/7). Hadir sebagai pembicara, antara lain Direktur Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Bappenas Subandi Sardjoko, dan peneliti pada Pusat Bahasa di Jakarta A Razak Zaidan.
Subandi Sardjoko mengungkapkan, jual beli manuskrip sudah lama dilakukan masyarakat pewaris manuskrip dari nenek moyang di beberapa daerah. Beberapa manuskrip penting hanya dijual sekitar Rp 2 juta kepada kolektor atau pedagang.
Harga murah itu jelas tidak sebanding dengan kerugian yang diderita bangsa Indonesia akibat kahilangan kekayaan sejarah dan budaya tersebut.
"Kehilangan manuskrip itu merugikan bangsa karena naskah tersebut banyak memuat ilmu pengetahuan dan teknologi serta kearifan lokal masa silam.
Ada manuskrip yang bersisi resep obat-obatan, tata niaga, politik, etika pelestarian lingkungan, atau arsitektur rumah yang tahan tsunami. Semua itu memberikan alternatif pemikiran di tengah modernitas sekarang," katanya.
Menurut A Razak Zaidan, sudah banyak manuskrip dari Riau atau Medan yang dibeli warga Malaysia, Sungapura, atau Australia. Manuskrip itu dijual seharga Rp 2 juta sampai Rp 17 juta.
Salah satu naskah yang pernah dijual adalah Hikayat Kesultanan Deli bertuliskan Arab Melayu yang bercerita sejarah Kesultanan Deli Serdang. Naskah itu dijual di Medan seharga sekitar Rp 17 juta kepada seseorang dari Malaysia, tahun 2002. “Saya menerima informasi itu langsung dari sumber yang terpercaya,” katanya.
Tetapi, ada juga pemilik naskah yang rela menyerahkan manuskrip kepada lembaga pemerintah atau museum untuk disimpan. Jika manuskrip sudah jatuh di tangan orang asing, lanjut Rozak, bangsa ini harus pergi ke luar negeri untuk mempelajari sejarahnya sendiri.
Generasi mendatang juga kesulitan mendapat akses untuk melacak akar budaya sendiri.
Sebenarnya sudah ada Undang-undang (UU) No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang melarang segala transaksi artefak bersejarah, termasuk naskah kuno. Tetapi, UU itu ternyata kurang dipedulikan masyarakat yang tidak memahami pentingnya manuskrip dan terdesak kemiskinan.
Disimpan Diam-diam
Apalagi, perhatian pemerintah terhadap pelestarian naskah masih minim.
Peneliti dari Center for Documentation and Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) Yumi Sugahara mengungkapkan, masih banyak manuskrip yang tidak tercatat secara resmi karena disimpan masyarakat secara diam-diam, seperti terdapat di Aceh.
"Kesadaran masyarakat tentang pentingnya mansukrip perlu ditingkatkan. Mereka juga perlu diberi pemahaman tata cara menyimpan naskah yang benar," katanya.
Ketua Yayasan Pernaskahan Nusantara (Yanassa) Achadiati Ikram, mengingatkan, pemerintah hendaknya lebih berperan lagi dalam menyelamatkan dan melestarikan naskah di Nusantara.
Regenerasi peneliti atau ahli pernaskahan juga perlu digalakkan, seperti melalui program beasiswa. Masalahnya, saat ini, jumlah peneliti naskah masih sedikit, dan sebagian ahli sudah tua.
Laporan Wartawan Kompas Ilham Khoiri
PALEMBANG, KOMPAS--Hingga kini, naskah kuno atau manuskrip bersejarah yang bernilai tinggi masih kerap diperjualbelikan di beberapa daerah di Nusantara. Bahkan di antaranya banyak yang jatuh ke tangan orang asing.
Jika hal ini tidak diantisipasi, situasi memprihatinkan ini bakal merugikan karena bangsa Indonesia kehilangan catatan sejarah intelektual dan kekayaan budaya lokal.
Demikian salah satu wacana yang mengemuka dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara di Palembang, Jumat (28/7). Hadir sebagai pembicara, antara lain Direktur Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Bappenas Subandi Sardjoko, dan peneliti pada Pusat Bahasa di Jakarta A Razak Zaidan.
Subandi Sardjoko mengungkapkan, jual beli manuskrip sudah lama dilakukan masyarakat pewaris manuskrip dari nenek moyang di beberapa daerah. Beberapa manuskrip penting hanya dijual sekitar Rp 2 juta kepada kolektor atau pedagang.
Harga murah itu jelas tidak sebanding dengan kerugian yang diderita bangsa Indonesia akibat kahilangan kekayaan sejarah dan budaya tersebut.
"Kehilangan manuskrip itu merugikan bangsa karena naskah tersebut banyak memuat ilmu pengetahuan dan teknologi serta kearifan lokal masa silam.
Ada manuskrip yang bersisi resep obat-obatan, tata niaga, politik, etika pelestarian lingkungan, atau arsitektur rumah yang tahan tsunami. Semua itu memberikan alternatif pemikiran di tengah modernitas sekarang," katanya.
Menurut A Razak Zaidan, sudah banyak manuskrip dari Riau atau Medan yang dibeli warga Malaysia, Sungapura, atau Australia. Manuskrip itu dijual seharga Rp 2 juta sampai Rp 17 juta.
Salah satu naskah yang pernah dijual adalah Hikayat Kesultanan Deli bertuliskan Arab Melayu yang bercerita sejarah Kesultanan Deli Serdang. Naskah itu dijual di Medan seharga sekitar Rp 17 juta kepada seseorang dari Malaysia, tahun 2002. “Saya menerima informasi itu langsung dari sumber yang terpercaya,” katanya.
Tetapi, ada juga pemilik naskah yang rela menyerahkan manuskrip kepada lembaga pemerintah atau museum untuk disimpan. Jika manuskrip sudah jatuh di tangan orang asing, lanjut Rozak, bangsa ini harus pergi ke luar negeri untuk mempelajari sejarahnya sendiri.
Generasi mendatang juga kesulitan mendapat akses untuk melacak akar budaya sendiri.
Sebenarnya sudah ada Undang-undang (UU) No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang melarang segala transaksi artefak bersejarah, termasuk naskah kuno. Tetapi, UU itu ternyata kurang dipedulikan masyarakat yang tidak memahami pentingnya manuskrip dan terdesak kemiskinan.
Disimpan Diam-diam
Apalagi, perhatian pemerintah terhadap pelestarian naskah masih minim.
Peneliti dari Center for Documentation and Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) Yumi Sugahara mengungkapkan, masih banyak manuskrip yang tidak tercatat secara resmi karena disimpan masyarakat secara diam-diam, seperti terdapat di Aceh.
"Kesadaran masyarakat tentang pentingnya mansukrip perlu ditingkatkan. Mereka juga perlu diberi pemahaman tata cara menyimpan naskah yang benar," katanya.
Ketua Yayasan Pernaskahan Nusantara (Yanassa) Achadiati Ikram, mengingatkan, pemerintah hendaknya lebih berperan lagi dalam menyelamatkan dan melestarikan naskah di Nusantara.
Regenerasi peneliti atau ahli pernaskahan juga perlu digalakkan, seperti melalui program beasiswa. Masalahnya, saat ini, jumlah peneliti naskah masih sedikit, dan sebagian ahli sudah tua.
0 Kommentare:
Post a Comment